Sejarah Kedatangan suku Batak Toba ke Aceh Tenggara
Sejarah Kedatangan suku Batak Toba ke Aceh Tenggara
Sejarah kedatangan suku bangsa Batak Toba ke Tanah Alas ini dikutip dari buku “Migran Batak Toba di Luar Tapanuli Utara: Sebuah Deskripsi” (OHS. Purba dan Elvis F. Purba: 1998, 141-162).
Pembukaan jalan dari Sidikalang ke Tanah Alas (1909-1914) menjadi sumber informasi bagi orang Batak Toba yang datang di kemudian hari. Informasi itu berasal dari para pekerja yang dibawa oleh Kolonial Belanda dari Samosir.
Frederich Sibarani dari Laguboti dan kawan-kawannya bekerja dalam bidang pembangunan jembatan di dalam wilayah Keujeuruen/Kerajaan Bambel. Tahun 1918 F. Sibarani dan keluarganya akhirnya menetap di Titi Panjang, Kute Prapat Hilir, Keujeuruen Batumbulan, di sana ia membuka usaha pertukangan. Kemudian hari, keluarga ini menjadi tempat penampungan sementara bagi pendatang baru dari Tapanuli.
Pionir Batak Toba tinggal di Keujeuruen Batumbulan. Raja Batumbulan saat itu, Teuku Sidun, merasa senang terhadap pendatang Batak Toba karena berhasil membuka persawahan. Berita tentang Tanah Alas semakin tersebar di kalangan petani Batak Toba dan mereka ingin memasuki Tanah Alas yang subur. Tahun 1919 David Sitohang memohon sepucuk surat dari Brinkschmidt, pendeta Jerman di Sidikalang, untuk Civiel Gezaghhebber di Kutacane agar mereka dapat membuka perkampungan di sana.
Tahun-tahun pertama dasawarsa 1920-an para petani Batak Toba semakin ramai berdatangan. Untuk mendapatkan tanah mereka terlebih dahulu membayar uang adat dan mendapatkan surat izin dari Keujeuruen. Tahun 1922 diperkirakan sudah ada 150 KK yang menetap di Tanah Alas. Mereka membuka hutan menjadi tempat tinggal dan lahan pertanian. Pihak Kolonial Belanda merasa senang dan memberi dukungan dan kemudahan bagi mereka untuk membuka perkampungan. Kampung pertama Batak Toba di Tanah Alas antara lain Bunga Melur, Mbacang Racun dan Lawe Kulok.
Tahun 1926 ada 8 kampung orang Batak Toba dan enam di antaranya sudah memiliki geuchik/penghulu dari suku sendiri. Saat itu diperkirakan ada 200 KK orang Batak Toba di Tanah Alas. Menurut sensus tahun 1930 terdapat 1.789 orang Batak Toba di Tanah Alas.
Keagresifan mereka membuat status sosial ekonominya lebih baik dibandingkan penduduk setempat. Raja Bambel, Teuku Durasa (Wan Ampuk) merasa khawatir dan merubah jalan pikirannya. Raja ini merasa kurang senang terhadap orang Batak Toba. Perubahan sikap raja ini menyebabkan para petani Batak Toba bersedia memulangkan tanah yang telah digarap dengan ganti rugi. Akhirnya, pada tahun 1936, Teuku Durasa ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Alor Setar, Kedah (Malaya).
Tahun 1934 jumlah orang Batak Toba di Tanah Alas mencapai 3.500 jiwa (2.730 orang Kristen dan 770 orang Islam). Orang Batak Toba yang beragama Islam tinggal di Lawe Petanduk dan Muara Keminjin.
Tahun-tahun selanjutnya arus perpindahan mayoritas ke selatan Lawe Alas. Jemaat Kristen Batak pun berkembang mulai dari Pulonas, Pulo Biang, Lawe Petanduk, Lawe Ponggas, Lawe Sigalagala, Kuta Tengah, dan lain-lain. Tanggal 24 Januari 1934 Pendeta Boas Simatupang ditempatkan untuk Tanah Alas dan bertempat tinggal di Pulonas. Guru-guru tamatan Sekolah Tinggi Sipoholon dikirim ke Rukahan, Salang Baru, Lawe Ponggas dan Lawe Sigalagala.
David Sitohang menjadi geuchik/penghulu di Lawe Sigalagala pada tahun 1934. Pada tanggal 1 April 1934 didirikan gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Lawe Sigalagala dengan areal seluas 1,5 Ha.Di Utara dan Selatan Tanah Alas kampung orang Batak Toba terus bertambah. Tak jarang sedikit demi sedikit tanah orang Alas beralih tangan ke orang Batak Toba.
Kurun waktu 1942-1945 petani-petani Batak Toba mulai memasuki seberang Lawe Alas. Akibat kekejaman Jepang yang memberlakukan romusha (kerja paksa), banyak orang Batak Toba melarikan diri ke Sidikalang dan Medan, walaupun anak dan isteri mereka masih tinggal di Tanah Alas. Tahun 1954 orang Batak Toba di Tanah Alas mencapai 14.790 jiwa.
Tahun 1974 jumlah penduduk Tanah Alas sebanyak 91.303 jiwa terdiri dari orang Alas (45%), Batak Toba (35%), Suku lain: Gayo, Batak Karo, Batak Mandailing, Singkil, Aceh, Minangkabau dan Jawa (20%).
Saat ini penduduk Aceh Tenggara berjumlah sekitar 184.000 jiwa, di mana suku bangsa Batak Toba termasuk dalam 3 suku utama yaitu Alas (55%), Batak Toba(17%) dan Gayo(14%). Sisanya terdiri dari suku bangsa Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Pakpak, Minangkabau, Aceh, Singkil, Jawa dan Nias.
Kuta Cane 23 April 2013
Pembukaan jalan dari Sidikalang ke Tanah Alas (1909-1914) menjadi sumber informasi bagi orang Batak Toba yang datang di kemudian hari. Informasi itu berasal dari para pekerja yang dibawa oleh Kolonial Belanda dari Samosir.
Frederich Sibarani dari Laguboti dan kawan-kawannya bekerja dalam bidang pembangunan jembatan di dalam wilayah Keujeuruen/Kerajaan Bambel. Tahun 1918 F. Sibarani dan keluarganya akhirnya menetap di Titi Panjang, Kute Prapat Hilir, Keujeuruen Batumbulan, di sana ia membuka usaha pertukangan. Kemudian hari, keluarga ini menjadi tempat penampungan sementara bagi pendatang baru dari Tapanuli.
Pionir Batak Toba tinggal di Keujeuruen Batumbulan. Raja Batumbulan saat itu, Teuku Sidun, merasa senang terhadap pendatang Batak Toba karena berhasil membuka persawahan. Berita tentang Tanah Alas semakin tersebar di kalangan petani Batak Toba dan mereka ingin memasuki Tanah Alas yang subur. Tahun 1919 David Sitohang memohon sepucuk surat dari Brinkschmidt, pendeta Jerman di Sidikalang, untuk Civiel Gezaghhebber di Kutacane agar mereka dapat membuka perkampungan di sana.
Tahun-tahun pertama dasawarsa 1920-an para petani Batak Toba semakin ramai berdatangan. Untuk mendapatkan tanah mereka terlebih dahulu membayar uang adat dan mendapatkan surat izin dari Keujeuruen. Tahun 1922 diperkirakan sudah ada 150 KK yang menetap di Tanah Alas. Mereka membuka hutan menjadi tempat tinggal dan lahan pertanian. Pihak Kolonial Belanda merasa senang dan memberi dukungan dan kemudahan bagi mereka untuk membuka perkampungan. Kampung pertama Batak Toba di Tanah Alas antara lain Bunga Melur, Mbacang Racun dan Lawe Kulok.
Tahun 1926 ada 8 kampung orang Batak Toba dan enam di antaranya sudah memiliki geuchik/penghulu dari suku sendiri. Saat itu diperkirakan ada 200 KK orang Batak Toba di Tanah Alas. Menurut sensus tahun 1930 terdapat 1.789 orang Batak Toba di Tanah Alas.
Keagresifan mereka membuat status sosial ekonominya lebih baik dibandingkan penduduk setempat. Raja Bambel, Teuku Durasa (Wan Ampuk) merasa khawatir dan merubah jalan pikirannya. Raja ini merasa kurang senang terhadap orang Batak Toba. Perubahan sikap raja ini menyebabkan para petani Batak Toba bersedia memulangkan tanah yang telah digarap dengan ganti rugi. Akhirnya, pada tahun 1936, Teuku Durasa ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Alor Setar, Kedah (Malaya).
Tahun 1934 jumlah orang Batak Toba di Tanah Alas mencapai 3.500 jiwa (2.730 orang Kristen dan 770 orang Islam). Orang Batak Toba yang beragama Islam tinggal di Lawe Petanduk dan Muara Keminjin.
Tahun-tahun selanjutnya arus perpindahan mayoritas ke selatan Lawe Alas. Jemaat Kristen Batak pun berkembang mulai dari Pulonas, Pulo Biang, Lawe Petanduk, Lawe Ponggas, Lawe Sigalagala, Kuta Tengah, dan lain-lain. Tanggal 24 Januari 1934 Pendeta Boas Simatupang ditempatkan untuk Tanah Alas dan bertempat tinggal di Pulonas. Guru-guru tamatan Sekolah Tinggi Sipoholon dikirim ke Rukahan, Salang Baru, Lawe Ponggas dan Lawe Sigalagala.
David Sitohang menjadi geuchik/penghulu di Lawe Sigalagala pada tahun 1934. Pada tanggal 1 April 1934 didirikan gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Lawe Sigalagala dengan areal seluas 1,5 Ha.Di Utara dan Selatan Tanah Alas kampung orang Batak Toba terus bertambah. Tak jarang sedikit demi sedikit tanah orang Alas beralih tangan ke orang Batak Toba.
Kurun waktu 1942-1945 petani-petani Batak Toba mulai memasuki seberang Lawe Alas. Akibat kekejaman Jepang yang memberlakukan romusha (kerja paksa), banyak orang Batak Toba melarikan diri ke Sidikalang dan Medan, walaupun anak dan isteri mereka masih tinggal di Tanah Alas. Tahun 1954 orang Batak Toba di Tanah Alas mencapai 14.790 jiwa.
Tahun 1974 jumlah penduduk Tanah Alas sebanyak 91.303 jiwa terdiri dari orang Alas (45%), Batak Toba (35%), Suku lain: Gayo, Batak Karo, Batak Mandailing, Singkil, Aceh, Minangkabau dan Jawa (20%).
Saat ini penduduk Aceh Tenggara berjumlah sekitar 184.000 jiwa, di mana suku bangsa Batak Toba termasuk dalam 3 suku utama yaitu Alas (55%), Batak Toba(17%) dan Gayo(14%). Sisanya terdiri dari suku bangsa Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Pakpak, Minangkabau, Aceh, Singkil, Jawa dan Nias.
Kuta Cane 23 April 2013
Sumber:
http://wazhadupi.blogspot.co.id/2013_04_01_archive.html
Komentar
Posting Komentar